Realitas Petani Jagung Hibrida Di Kota Parepare

Petani jagung hibrida di Kota Parepare masih menggunakan metode pertanian tradisional dalam bertani. Hal tersebut mempengaruhi produktivitas dan kesejahteraan petani. Perlu adanya modernisasi, mengingat petani jagung hibrida adalah bagian dari rantai industri yang besar.

Parepare – Maupa.id – Matahari masih menggantung rendah di ufuk timur kala Imran (34) telah tiba di ladang miliknya. Ia dan beberapa buruh petiknya tengah bersiap untuk panen. Suasana panen adalah suasana yang paling Imran tunggu setelah menunggu sekitar empat Bulan lamanya. Barisan batang jagung terhampar sejauh mata memandang. Desir batang jagung bergerak perlahan kesana kemari serta riuh rendah tawa mereka menjadi kombinasi sukacita pagi itu. Suasana sederhana yang hangat dengan latar indah Kota Parepare.

Imran adalah salah seorang petani jagung di Kota Parepare. Ladangnya bukanlah miliknya melainkan ia sewa. Ladang yang ia kelola cukup luas yaitu sekitar 20-30 Are dan terletak di perbukitan Bacukiki sekitar Jalan Jend. Moh. Yusuf. Luas ladang tersebut biasanya memproduksi 3 Ton jagung. Hal itu menjadi alasan mengapa Imran membutuhkan tenaga kerja tambahan. Ia merekrut empat buruh tani. Ke-empat buruh tani itu terdiri dari tiga wanita dan satu pria. Usia rata-rata mereka adalah 40 Tahun, kecuali buruh tani pria yang telah berada di usia senja.

Namanya Sodding, biasa di panggil Wa’ Sodding. Usianya telah mencapai 71 Tahun dan terlihat cukup rentan untuk menjadi buruh tani. Kendati demikian, umur dan kondisinya tidak menghalangi dia untuk menjadi buruh tani. Faktor ekonomi telah mendorongnya untuk tetap berjuang. “Engkatu ko engka pangelli bale”, ujarnya dalam bahasa Bugis yang artinya “(bersyukur) ada yang bisa digunakan untuk membeli ikan” (03/03/25).

Proses panen jagung. Dok: Ilham Alfais
Proses panen jagung. Dok: Ilham Alfais

Proses panen jagung hibrida di Kota Parepare hampir semuanya masih manual, masih menggunakan tenaga manusia. Hal yang sama juga diterapkan Imran sebagai petani jagung hibrida. Bahkan, sistem pertanian yang Imran terapkan masih sangat tradisional. Pengairannya masih menggunakan sistem tadah hujan. Sistem ini diakui oleh Imran sebagai kekurangan yang dapat menurunkan produktivitas. Sistem ini tampaknya dipilih untuk menekan biaya produksi alih-alih karena status kepemilikan lahan.

Lihat Juga:  Kepala UPT KPH Latimojong: Hutan Lindung di Latimojong Relatif Baik, Pembukaan Lahan Pegunungan Ancam Lingkungan

Husein (60), salah seorang petani jagung hibrida yang mengelola lahannya sendiri, juga menerapkan sistem yang sama untuk pengairan yaitu menggunakan sistem tadah hujan. Selain sistem pengairan, proses penanaman, pemupukan dan panen juga masih manual.

Kendati prosesnya manual seperti yang disebutkan di atas, petani dan buruh tani memiliki cara tersendiri untuk bisa efisien. Cara tersebut adalah dengan pengerjaan berkelompok. Satu kelompok terdiri dari tiga orang. Satu orang di tengah menadah jagung dengan karung goni dan dua lainnya memetik jagung. Setiap kelompok memanen empat baris batang jagung setiap satu kali jalan dari ujung satu ke ujung yang lainnya. Metode panen ini dinamakan ma’seppe. Sekalipun cara ini terbilang efisien, tetap saja masih sangat sulit untuk dikerjakan.

Tantangan terbesarnya adalah menahan sengatan panas terik matahari. Buruh tani biasanya menutup sekujur tubuhnya dengan pakaian agar tidak tersengat matahari. Mereka menggunakan topi rimba, penutup wajah, jaket dan celana panjang. Pakaian yang sangat tertutup lalu diterpa terik matahari, dapat menyebabkan panas berlebih dan dehidrasi. Itulah resiko yang harus ditanggung. Tidak jarang Wa’ Sodding dan yang lainnya harus berteduh karena panas dan haus.

Lahan jagung milik Imran. Dok: Ilham Alfais
Lahan jagung milik Imran. Dok: Ilham Alfais

Buruh tani biasanya diupah dari Rp. 80.000 – 100.000 (Delapan Puluh Ribu Rupiah hingga Seratus Ribu Rupiah/hari. Jam kerjanya pukul 08.30 – 17.00 WITA, namun jam kerja ini cukup fleksibel.  Wa’ Sodding dan buruh tani lainnya diupah Rp. 80.000/hari. Menurut Ati (44) angka tersebut terlalu rendah, namun dia tidak punya pilihan karena harus memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Daripada monro bawangnga ko bola e de’gaga ijama, lebbi laoka ma’seppe na engka ise’na pa’baressengku”, ujarnya dalam bahasa Bugis yang berarti “daripada saya hanya tinggal di rumah, lebih baik saya pergi panen agar dapat uang beli beras” (05/03/25).

Lihat Juga:  Tingkatkan Kapasitas Pemuda di IKN, OIKN Gelar Pelatihan Pemandu Ekowisata

Imran sendiri mengaku hanya dapat membayar dengan Rp. 80.000 (Rp. Delapan Puluh Ribu Rupiah). Berdasarkan pengakuannya, kurang lebih 2/3 hasil panen digunakan untuk menutupi biaya produksi. “Kalau hasil jual misalnya 9 Juta, sekitar 3 Juta ji bersihnya. Na itu mau dipakai (selama) 4 Bulan”, ujarnya (03/03/25). Lebih lanjut ia menjelaskan resiko kerugian yang bisa saja ia tanggung, misalnya curah hujan yang rendah atau terlalu tinggi dapat mempengaruhi angka produksi. Selain itu, Ia juga harus berjuang melawan hama selama proses pertumbuhan. Hama tersebut diantaranya adalah babi, tikus, tanaman gulma dan bahkan sapi milik warga setempat

Realitas pertanian jagung hibrida ini adalah sudut kecil dari besarnya rantai industri yang menjadi bagiannya. Petani jagung hibrida di Kota Parepare kebanyakan menjual hasil taninya pada PT. Japfa  Comfeed Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya potensi besar untuk menjadi salah satu hasil tani unggulan di Kota Parepare. Maka dari itu, perlu adanya solusi untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan buruh tani jagung hibrida di Kota Parepare. Misalnya pemanfaatan teknologi pertanian sehingga dapat meningkatkan produktivitas petani.

Penulis: Ilham Alfais
Editor: Muhammad Fauzy Ramadhan

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU

BERITA POPULER