”Bukan Masmindo penyebab banjir waktu itu. Tapi memang bencana alam,” ungkap Pak Hartono, seorang khatib masjid di Desa Ulusalu kepada maupa.id, yang ditemui di rumahnya. Hartono, salah seorang tokoh masyarakat yang berada di desanya ketika bencana itu terjadi.
Luwu – maupa.id –Tim maupa.id bersama Ustadz Chandra Priandika, menyusuri Daerah Aliran Sungai (DAS) Suso melalui Desa Saronda, Kadundung, Pajang sampai di Desa Ulusalu, Kecamatan Latimojong pada akhir Oktober dan awal November 2024 lalu. Ustadz Chandra adalah salah seorang warga yang juga Pembina Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an (PPTQ) Nurul Jannah Banawa di Kecamatan Suli. Kecamatan Suli adalah salah satu wilayah yang terdampak banjir kala itu.
Penelusuran ini penting dilakukan untuk menggali informasi dari penduduk setempat terkait bencana banjir dan tanah longsor itu. Sehingga, terungkap fakta akurat karena masih ada sebagian pihak “mencurigai” PT. Masmindo Dwi Area (MDA) yang beroperasi di Kecamatan Latimojong sebagai menyebabkan bencana banjir tersebut meskipun sudah diklarifikasi oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu bahwa banjir dan tanah longsor itu adalah bencana alam.
Menurut Hartono (54 tahun), ketika itu, awal Mei 2024, hujan mengguyur wilayah pegunungan Latimojong selama 3 hari 3 malam tanpa henti. Tetiba, tengah malam tanggal 2 Mei 2024, terdengar suara ledakan yang disusul dengan guncangan tanah seperti gempa. Ternyata, kemudian diketahui bahwa suara itu adalah suara reruntuhan dari atas Gunung Latimojong.
“Waktu itu, tengah malam, kurang lebih jam dua malam, tiba-tiba terjadi lino. Kalau orang kota menyebutnya gempa bumi. Waktu itu, terjadi sentakan tanah, cepat sekali. Ternyata hutan-hutan di atas (Gunung Latimojong, red) pecah-pecah di areal hutan yang tidak pernah diolah,” ungkap ayah dari 4 orang anak ini.

Tanah yang retak itu, lanjut Hartono, jatuh dibawah air deras. Pohon-pohon besar banyak yang tumbang dibawah air bah. Pohonan besar yang hanyut itu kemudian menerjang kebun-kebun, rumah-rumah warga dan jembatan-jembatan. Jalan-jalan desa juga tertimbun longsor.
“Rumah-rumah warga, motor apa, semua yang ada dipinggir sungai itu semua diterjang air besar sampai ke tanah rata,” kisah Hartono.
Lebih jauh, Hartono mengisahkan bahwa ketika pepohonan besar dibawah air, pepohonan itu membujur sehingga tersangkut di batu-batu besar di bibir tebing-tebing. Ada ratusan pohon besar yang hanyut. Akhirnya terjadi seperti bendungan yang menampung banyak air dan lumpur.
“Lama kelamaan, air dan lumpur itu semakin banyak, batu-batu besar pun longsor turun ke sungai setelah pepohonan besar yang menahan air patah. Air pun menyapu rata apa-apa, semua yang ada dipinggir sungai,” urai Hartono yang juga piawai memainkan aneka alat musik ini.
Menanggapi pertanyaan Ustadz Chandra tentang posisi MDA, Hartono mengatakan tidak ada hubungannya. karena areal MDA justru berada jauh di sebarang gunung.
“Justru longsor terjadi di daerah Ulu Salu, Tibussan, Pajang yang berada di seberang lokasi Masmindo. Jadi ini memang bencana karena hujan tiga hari tiga malam tidak berhenti-henti waktu itu,” kunci Pak Khatib Hartono. Semoga informasi ini bermanfaat dan menjadi pembelajaran tentang pentingnya mitigasi bencana.
Penulis: Syamsuddin Simmau
Editor: Muhammad Fauzy Ramadhan
Foto/Video: Imran Herman dan Chandra Priandika