Maupa.id – Kegiatan diskusi yang diselenggarakan oleh Ma’REFAT INSTITUTE Sulawesi Selatan mendatangkan langsung tiga akademisi dari lintas perguruan tinggi, yaitu Reza Asra, S.TP., M.P. Dosen serta Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Muhammadiyah Sidrap, Selvy Anggriani Syarif, S.E., M.Si Dosen IAIN Kota Parepare serta Ahmad Firman Ashari, SP., M.Si yang merupakan Koordinator Kelompok Pengkajian dan Diskursus “KOMITMEN” (Kolaborasi Multi Intelegensia Merawat Etik dan Nilai) Mahasiswa Pascasarjana UNHAS sekaligus Dosen Universitas Teknologi Sulawesi (UTS).
Pada awal diskusi, Reza Asra memulai dengan menampilkan hasil survei sebuah artikel mengenai tingkat penilaian dan kepuasan terhadap perguruan tinggi dari salah satu kampus ternama di Inggris, “Data tersebut mengatakan hanya 10% yang puas, selebihnya tidak merasa puas terhadap kinerja manajemen perguruan tinggi. Hasil mengejutkan itu mengungkap beberapa alasan, diantaranya: beban kerja berlebih, tugas yang selalu berubah, tata kelola, penghambaan kepada mahadata, pengerjaan proyek diluar tugas utama, akademisi yang dibungkam serta psikologi akademi,” ujar Reza.
Realitas yang terjadi di Indonesia saat ini terhadap kinerja perguruan tinggi, ternyata tidak berbeda jauh dengan yang ada di luar negeri. Reza memandang bahwa perguruan tinggi saat ini sebagai kompleks mega industri yang beroperasi dan berkompetisi layaknya perusahaan dan bergantung pada pasar.
Selain itu, Firman Ashari melanjutkan pandangannya dengan berpendapat bahwa beberapa kampus telah hilang nilai-nilai luhur di dalamnya. Ia mengatakan tidak sedikit perguruan tinggi saat ini lebih mementingkan aspek administratif dibandingkan integritas akademik. Dampaknya? Terjadilah plagiarisme, joki akademik, manipulasi nilai, hingga normalisasi budaya takut.

“Kalau pendidikan tinggi kehilangan arah, lalu untuk siapa kita belajar? Ini bukan sekadar soal data, tapi soal tanggung jawab moral,” ujarnya. Firman juga menegaskan perlunya perbaikan orientasi ilmu, reformasi sistem insentif, dan penguatan akses keadilan sosial sebagai solusi konkret.
Begitupun dengan Selvi Anggriani, akademisi perempuan yang berasal dari kota kelahiran Presiden ketiga Indonesia Prof. BJ Habibie, menyampaikan perspektifnya bahwa pendidikan hari ini terlalu tunduk pada kepentingan neoliberalisme. Mahasiswa tidak lagi dipacu untuk berpikir kritis, melainkan diarahkan memenuhi standar pasar dan kelulusan cepat. Kampus harusnya melahirkan dan menciptakan orang-orang kritis namun faktanya tidak lagi demikian, ungkapnya.
Pada sesi interaktif, beberapa kritikan, masukan dan tanggapan dari peserta muncul. Salah satunya menyoroti perguruan tinggi yang belum ramah kepada mahasiswa yang memiliki kebutuhan khusus, Bahkan, ada peserta menyindir “kalau mau kaya, jadilah pengusaha. Kalau ingin jabatan, jadilah politisi. Tapi kalau ingin hidup sederhana, jadilah dosen atau pendidik.” Pernyataannya pun disambut tawa oleh para peserta.
Peserta terakhir memberikan pendapatnya bahwa perguruan tinggi merupakan salah satu medan perjuangan yang harus tetap dijaga. Karena kalau kita mau bangkit dan memajukan peradaban, jalannya mesti lewat pendidikan. Selain itu, pendidikan di perguruan tinggi sejatinya adalah ruang untuk memanusiakan manusia. Di mana proses untuk mengaktualkan berbagai potensi manusia terus berlangsung, sehingga benar-benar menjadi manusia seutuhnya.

Banyaknya tanggapan dari para peserta terhadap diskusi Ma’REFAT INFORMAL MEETING ini menandakan bahwa antusiasme peserta mengikuti kegiatan cukup tinggi. Acara ini dipenuhi oleh para peserta dari beragam kalangan, mulai dari ASN, NGO, akademisi, karyawan swasta serta mahasiswa.
Adapun dari ketiga narasumber bersepakat bahwa perguruan tinggi masih bisa menjadi ruang perjuangan, meski memiliki banyak masalah. Selvy menekankan pentingnya kampus yang humanis dan peduli kepada mahasiswa. Reza berharap ruang-ruang kritis bagi dosen dan mahasiswa bisa kembali tumbuh. Sedangkan Firman mengajak semua pihak untuk memulai perubahan dari hal-hal kecil.
Penulis: Muhammad Wahbah
Editor: Muhammad Fauzy Ramadhan