Luwu – maupa.id – Pantauan jurnalis maupa.id sejak Juli 2024 sampai April 2025 atau sekira 10 bulan terhadap praktek Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di DAS Suso menunjukkan bahwa ada kesan pembiaran terhadap praktek pertambangn ilegal ini. Bagaimana tidak, sejak diprotes oleh kelompok masyarakat dan aktifis lingkungan hidup, praktek PETI ini sempat terhenti. Namun seiring waktu, sejak September 2024 silam sampai Februari 2025, praktek PETI ini kembali marak.
Berdasarkan observasi lapangan maupa.id, praktek PETI yang terjadi di DAS Suso dari arah Kecamatan Latimojong dapat dilihat di Desa Kadundung, tepatnya di persimpangan menuju Sungai Songgang ke arah Desa To’barru dan sungai dari arah Desa Pajang. Juga dapat dilihat nyata di pinggir jalan menuju ke Desa Ulusalu di dekat jembatan penghubung Desa Kadundung dengan Desa To’barru, Kecamatan Latimojong. Aktifitas PETI lainnya dapat pula dilihat di wilayah Desa Saronda dan Desa Bone Lemo Kecamatan Bajo Barat. Gambar yang diambil maupa.id pada 18 Februari 2025 menunjukkan bahwa praktek PETI ini masih terjadi di DAS Suso.

Dalam arus air sungai yang keruh, para penambang PETI di DAS Suso, menggunakan mesin penyedot pasir. Sementara tumpukan pasir bekas galian yang telah disedot dibiarkan tetap di dalam sungai sehingga terbawa air ketika hujan. Penting dicatat bahwa pada tahun 2023 silam, sebagian PETI bahkan ada yang menggunakan eskavator menggali di dalam DAS Suso. Namun, setelah ditertibkan penggunaan eskavator tidak tampak lagi namun penggunaan mesin sedot pasir masih marak dilakukan.

Praktek PETI di DAS Suso jelas memperparah pendangkalan sungai Suso atau Sungai Lekopini. Material pasir, batu dan lumpur bahkan telah menutupi, nyaris menutupi seluruh permukaan sungai. Di beberapa bagian, kedalaman air Sungai Suso bahkan tidak sampai selutut orang dewasa jika bukan musim hujan.
Penting di ketahui, sebagaimana dilansir dari laman https://www.esdm.go.id/, PETI adalah kegiatan memproduksi mineral atau batubara yang dilakukan oleh masyarakat atau perusahaan tanpa memiliki izin, tidak menggunakan prinsip pertambangan yang baik, serta memiliki dampak negatif bagi lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial.
Berdasarkan regulasi, praktek PETI melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada pasal 158 UU ini ditegaskan bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000. (seratus miliar rupiah).
Berdasarkan laman https://www.esdm.go.id/ ini, juga disebutkan dampak negatif dari praktek PETI. Perhatian khusus Pemerintah terhadap praktik penambangan ilegal ini tidak lain disebabkan karena banyaknya dampak negatif dari pengoperasian PETI, di antaranya berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Dampak sosial kegiatan PETI antara lain menghambat pembangunan daerah karena tidak sesuai RTRW, dapat memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat, menimbulkan kondisi rawan dan gangguan keamanan dalam masyarakat, menimbulkan kerusakan fasilitas umum, berpotensi menimbulkan penyakit masyarakat, dan gangguan kesehatan akibat paparan bahan kimia.
Penting diketahui publik bahwa saat ini, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakkum) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) telah memiliki payung hukum sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 169 Tahun 2024 tentang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Oleh karena itu, publik menunggu kinerja Ditjen Gakkum untuk menertibkan PETI di Indonesia, khususnya di DAS Suso Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan.
Penulis: Syamsuddin Simmau
Editor: Muhammad Fauzy Ramadhan
Foto/video: Dok. Maupa.id