Terungkap ! Rahasia 9 Gerakan Tarian Jaga Lili Ulu Salu

Tarian Jaga Lili Lahir Sebelum Batara Guru Bertahta di Kedatuan Luwu. Bagaimana kisahnya ? Tim maupa.id berkunjung ke Desa Ulu Salu Kecamatan Latimojong Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan (Sulsel) untuk berbincang langsung dengan Ketua Sanggar Seni Latimojong (SSL) Desa Ulu Salu, Hartono Samad, pada Sabtu (26/10/2024) dan Minggu (26/10/2024).

Luwu – maupa.id – Hartono Samad mengungkapkan, Tarian Jaga Lili adalah tarian legenda yang diwariskan turun temurun dari leluhurnya. Tarian Jaga Lili artinya tarian menjaga lingkungan. Tidak diketahui siapa pencipta tarian ini. Tapi leluhur Pak Hartono menjadi penari, pemusik, penjaga dan pelestari warisan luhur para pendahulu wilayah Ulu Salu di Kaki Gunung Latimojong, Luwu. Ulu Salu secara harfiah berarti hulu sungai. Dari Ulu Salu mengalir Sungai Suso sampai ke Suli dan Cimpu di daerah Belopa.

Hartono yang juga mengabdi sebagai Khatib di Desa Ulu Salau ini mengisahkan, jauh sebelum Batara Guru atau Tu Manurung (penguasa yang diturunkan dari dunia atas menurut Kitab I Lagaligo) bertahta di Tanah Luwu tarian ini sudah tercipta. Ketika itu yang berkuasa di Tanah Luwu adalah Datu Kelali yang bertahta di Ulu Salu. Awalnya tarian ini bermula dari bunyi tanpa gerakan. Lalu, tercipta lagu yang dalam Bahasa Tae’dikenal dengan nama Sengo atau Sengo-sengo.

“Pertama dilakukan adalah gerakan Sengo atau gerakan lagu sambil berkeliling. Lalu, dilanjutkan dengan tabuhan gendang. Di sini, penari bisa berjumlah tiga sampai empat orang. Setelah Sengo selesai maka dimulailah gerakan tarian bentuk pertama, yaitu, Cakkali’,” urai Bapak berputra lima ini.

Cakkali’ artinya mawas diri atau waspada, jelas Hartono. Gerakan kedua bernama Banda Luwu’. Artinya, tombak sepanjang satu meter yang berasal dari Tanah Luwu’. Dalam Bahasa Lontara’ Banda Luwu’ disebut Bessi Manrawe. Banda Luwu’ menyimbolkan keberanian.

Lihat Juga:  Demplot MDA Berhasil Produksi Melon Berkualitas di Rante Balla

Gerakan ketiga, urai Hartono yang merupakan mantan pelaut ini, adalah Mabela yang berarti jauh atau merantau. Artinya, meskipun orang Ulu Salu pergi merantau jauh mencari ilmu atau sumber kehidupan harus ulet, bersungguh-sungguh, pantang mundur sebelum berhasil.

Keempat, gerakan Rapa-rapa atau tepuk tangan. Gerakan ini bermakna memberikan semangat kepada pekerja atau kepada para pejuang atau militer.

Ketua Sanggar Seni Latimojong (SSL) Desa Ulu Salu, Hartono Samad. Dok: maupa.id
Ketua Sanggar Seni Latimojong (SSL) Desa Ulu Salu, Hartono Samad. Dok: maupa.id

Gerakan kelima bernama, Tannun-tannun yang berarti menjahit atau menenun. Kemudian, gerakan ke enam bernama Sore-sore yang berarti menghindari segala macam bahaya.

Gerakan ketujuh bernama Lanceng-lanceng atau Seba-seba atau gerakan “monyet”. Gerakan ini bermakna kemampuan menghindar dari segala macam ancaman untuk mempertahankan diri.

Gerakan ke delapan adalah Bembe’-bembe’ atau kambing. Gerakan ini bermakna mata-mata atau memata-matai musuh.

Gerakan ke sembilan adalah Tanah Wali. Artinya, bergembira merayakan kemenangan sebagai tanda syukur kepada Tuhan karena telah berhasil mencapai tujuan. Perayaan kemenangan ini diadakan di atas tanah kewalian, tanah yang suci.

Tarian Jaga Lili pertama kali diperagakan tiga orang yang juga terdapat dalam legenda Ulu Salu, Toraja dan Enrekang. Tiga penari pertama bernama, Londong di Rura’, London di Bali’ dan Arran Bulawanna. Kemudian, secara turun temurun sampai ke Hartono Samad dan saudara-saudara dan putra purinya.

Hal unik lainnya dari Pak Hartono adalah ia mahir memainkan beragam alat musik, seperti; biola, kecapi, gendang bahkan alat band seperti gitar, bas dan dram. Semua, ia pelajari secara otodidak dari Sang Ayah yang bernama Abdul Samad bekerja sebagai guru sejak zaman Kahar Muzakkar.

Saat ini, Pak Hartono Samad terus mengajarkan Tari Jaga Lili kepada generasi muda, termasuk anak-anak sekolah dan kepada siapa saja yang berminat. Hartono dan timnya sudah berkeliling mementaskan Tarian Jaga Lili dalam berbagai event kebudayaan seperti festival budaya di Solo, Jogja, Makassar, Tarakan dan di Kedatuan Luwu.

Lihat Juga:  Festival Budaya Bone Lemo dapat Dukungan MDA

Sayang, karena Sanggar Seni Latimojong belum memiliki aula atau balai untuk latihan dan masih minim peralatan. Sehingga, ada kendala dalam pelestarian tarian legendaris ini. Semoga ada dukungan dari pemerintah dan pihak lainnya, amin.

Penulis: Syamsuddin Simmau

Editor: Muhammad Fauzy Ramadhan

Foto/Video: Imran Herman dan Chandra Priandika

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU

BERITA POPULER