Perempuan Dibawah Bayang-bayang Militerisme UU TNI

UU TNI telah disahkan sejak 20 Maret kemarin. UU ini memberikan keleluasaan kepada TNI aktif untuk menjabat di 14 jabatan struktural pemerintahan pusat. Bersamaan dengan diketuk palunya UU ini, demonstrasi dan penolakan terjadi di hampir seluruh wilayah di Indonesia. UU ini dianggap membawa ancaman kembalinya dwifungsi TNI, sehingga menebarkan ketakutan kepada banyak pihak, termasuk kelompok perempuan.

Parepare, – Maupa.id – UU Tentara Nasional Indonesia baru saja direvisi 20 Maret kemarin. Ada beberapa poin dari hasil revisi Undang-Undang tentang Perubahan UU No.34 Tahun 2004 yang memuat kontroversi, termasuk bertambahnya pekerjaan sipil yang bisa dikerjakan oleh TNI aktif dan beberapa pasal yang membolehkan turunan undang-undang baru seperti PP (Peraturan Pemerintah) dan Perpres yang sarat kepentingan militer.

Penolakan UU TNI dilakukan banyak kelompok masyarakat, termasuk komunitas perempuan. Ada kekhawatiran tersendiri dengan disepakatinya UU ini melanggengkan dominasi militer diposisi yang harusnya diduduki sipil, sehingga melemahkan demokrasi seperti yang terjadi di masa orde baru silam. Tapi bukan hanya sampai disitu, militerisme turut membentuk kuatnya maskulinitas di Indonesia, khususnya peminggiran perempuan pada aktivitas di ruang publik.

Sejarah peminggiran perempuan telah terjadi sejak orde baru berkuasa, terjadi banyak kasus femicida seperti pemberangusan Gerwani, pembunuhan terhadap aktivis perempuan seperti Marsinah dan masih banyak kasus lainnya. Militer menjadi dalang dibalik tindakan represif ini. sebagaimana dijelaskan Firda, pegiat di komunitas Nalar Perempuan.

‘Selain karena militerisme sering sekali diidentikkan dengan maskulinitas dan akrab dengan peran laki-laki saja, militerisme juga akrab dengan pembubaran atau penggerusan pergerakan perempuan. Contohnya yah GERWANI yang menjadi korban rezim meliteristiknya Soeharto pada saat itu. Polanya sama dengan cara Prabowo merangkak karir politiknya,” ujar firda.

Senada dengan itu, Selvy Anggriani Syarif, salah seorang dosen di IAIN Parepare sekaligus pegiat isu perempuan menjelaskan budaya komando yang dianut oleh TNI tidak sejalan dengan prinsip pemberdayaan yang berasaskan pada kesetaraan, bottom-up dan daya kritis masyarakat. Kebijakan pembangunanisme orde baru contohnya, sangat sentralistik dan mengedepankan represifitas aparat sehingga pemberdayaan masyarakat tidak berjalan dengan baik.

Lihat Juga:  Muslimin Ali Latif Terkait Kebijakan Retribusi Parebeach Kuliner : Mate Kasi' Padangkannge

“Termasuk perempuan sebagai bagian masyarakat yang selama ini bersusah payah mendapatkan ruang untuk berpartisipasi di ruang-ruang pembangunan. Pada akhirnya perempuan dan masyarakat hanya dipandang sebagai objek pembangunan yang harusnya siap menerima perintah dari atasan (pemerintah). Protes atau menolak berarti membangkang, dan pembangkangan berarti hukuman menanti di depan mata. Pada akhirnya kemampuan kritis dan berpikir transformatif dipaksa tak berdaya demi langkah taktis ala militer.”

Di satu sisi, selama orde baru berkuasa, perempuan lebih banyak ditekankan pada kerja-kerja domestik daripada aktivitas publik melalui organisasi yang negara bentuk. Sebagaimana dijelaskan firda, “Yah ujung-ujungnya gerakan mengatasnamakan perempuan dan perjuangan terhadap haknya hanya akan disuguhkan lewat topeng rezimnya sendiri. Contohnya pembentukan PKK atau Dharma Wanita yang pada dasarnya mendukung negara dan militernya. Pembahasannya pun bakalan fokus kepada peran domestik perempuan saja toh,”tegasnya.

Untuk itu, Bagi Selvy, perempuan perlu mengambil sikap yang tegas terkait UU TNI yang baru saja disahkan beberapa hari lalu untuk mengantisipasi meningkatkan represifitas terhadap perempuan seperti yang terjadi beberapa tahun lalu.

“Seperti suara Marsinah saat dulu yang harus dibungkam dengan kematian yang mengerikan, atau banyaknya orang tua yang harus kehilangan harapan bertemu dengan anaknya karena hilang atau mati karena moncong senjata. Perempuan perlu menyuarakan penolakan dan perlawanan sekalipun hanya dari balik status medsos. Karena perempuan yang paling terkena imbas akibat kekerasan dipakai dimana-mana,” tutup Selvy.

Penulis: Azwar Radhif
Editor: Muhammad Fauzy Ramadhan

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU

BERITA POPULER