Makassar – maupa.id – Menurut Rizal Fauzi, regulasi terkait kebijakan pertambangan di Indonesia saat ini masih rancu. Karena regulasi yang berlaku di Indonesia saat ini belum mengurai secara rinci kewenangan dan tanggung jawab masing-masing level pemerintahan.
Rizal mencontohkan, kewenangan pertambangan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat berdasarkan undang-undang. Dengan demikian, seharusnya diterbitkan kebijakan pada level Pemerintah Provinsi sampai Kemerintah Kabupaten secara ideal, detail dan komprehensif sebagai penjabaran kewenangan Pemerintah Pusat tersebut.
“Kebijakan seperti ini, kan, belum ada. Seharusnya, Pemerintah Provinsi sebagai perpanjangan Pemerintah Pusat di daerah menerbitkan kebijakan, minimal Peraturan Gubernur jika belum bisa Peraturan Daerah, yang mengatur pertambangan ini,” jelas Rizal.
Selanjutnya, Rizal Fauzi yang juga dosen di Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin (Fisip Unhas) menjelaskan, Pemerintah Kabupaten penting menerbitkan kebijakan turunan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi terkait kebijakan pertambangan tersebut. Sehingga, jika terjadi masalah di lapangan, misalnya perizinan atau terjadi konflik lahan dengan masyarakat maka tidak ada lagi saling lempar tanggung jawab. Karena kewenangan masing-masing level pemerintah sudah jelas.
“Yang terjadi saat ini, kan, izin menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan Provinsi. Tapi kalau terjadi bencana alam atau bencana sosial, misalnya, justru Pemerintah Kabupaten yang menanggung akibatnya. Sementara anggaran Pemerintah Kabupaten itu terbatas. Ini kan, repot,” urai Rizal.
Sekarang, jelas Rizal lebih jauh, paradigma new public service diadopsi ke dalam seluruh layanan publik. Intinya, para pihak (stakeholders) harus dilibatkan dalam implementasi kebijakan, termasuk masyarakat, pemangku adat dan para pihak lainnya. Pelibatan para pihak seharusnya substansial, setara dan adil, tidak hanya bersifat formalistik.
Kebijakan paling penting dilakukan pemerintah saat ini, adalah membuat stakeholders mapping atau pemetaan para pihak. Masalahnya, menurut Rizal yang konsen pada isu kebijakan lingkungan ini, hampir seluruh pemerintah tidak memiliki stakeholders mapping. Sehingga dapat menghambat investasi.
Dengan adanya stakeholders mapping maka investor tidak lagi mengerjakan pekerjaan yang tidak seharusnya dia kerjakan. Misalnya, terang Rizal, perusahaan tambang jangan lagi dibebani dengan persoalan lahan jika stakeholders mapping sudah ada. Sehingga, perusahaan tidak melakukan pembayaran lahan yang dobel atau tumpang tindih karena pemerintah sudah menegaskan para pihak yang memiliki, menguasai atau mengelola lahan yang ada. Dengan demikian, pihak perusahaan tinggal membayar ganti rugi atau memberi kompensasi kepada masyarakat berdasarkan haknya itu.
“Tantangan terbesar pemerintah saat ini, baik Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten adalah bagaimana menghadirkan investasi yang ramah terhadap lingkungan dan bisa mensejahterakan masyarakat. Poin intinya adalah pemerintah belum menurunkan secara rinci Undang-Undang Cipta Kerja sampai level Provinsi dan Kabupaten,” kunci Direktur Lembaga Riset Public Policy Network, Rizal Fauzi.
Penulis: Syamsuddin Simmau
Editor: Muhammad Fauzy Ramadhan
Foto/Video: Imran Herman