“Pelabuhan bukan hanya tempat berlabuhnya kapal, tapi juga tempat berlabuhnya ide”
Parepare – Maupa.id – Parepare adalah kota pelabuhan. Pernyataan ini bukan hanya sekedar slogan dalam rangka promosi kota Parepare. Namun, keberadaan pelabuhan telah menjadi identitas kota Parepare. Keberadaan pelabuhan memiliki andil yang signifikan terhadap perubahan sosial kota Parepare.
Kota Parepare memiliki topografi yang unik. Di kawasan barat Parepare adalah pantai. Pantai ini membentang dari perbatasan Kabupaten Pinrang hingga perbatasan Kabupaten Barru. Sedangkan, pada kawasan barat terdiri dari perbukitan. Topografi yang semakin menjadikannya unik adalah terdapat pulau pada kawasan barat yang secara alami berfungsi sebagai pemecah ombak. Karakteristik tersebut sangat memungkinkan untuk dibuat pelabuhan.
Asal kata Parepare sendiri punya keterkaitan erat dengan topografinya, misalnya dalam tradisi lisan berasal dari kata “Paraparae”. “Para” merupakan suatu jenis semak (bakau) yang menghiasi sepanjang bibir pantai. Semak itu membentang dari bagian utara (Cappa Ujung) hingga ke selatan (Mallusettasi, kini secara administratif terletak di Kabupaten Barru).
Sumber lain menyebutkan bahwa asal nama Parepare berasal dari ungkapan “bajiki ni pare”. Bajiki ni pare menurut Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, memiliki arti “baik dibuat pelabuhan kawasan ini”. Namun, dalam sumber lain arti dari bajiki ni pare adalah baik untuk dibangun kawasan pemukiman.
Belum ada kesepakatan sejarah tentang pelabuhan pertama maupun letak pelabuhan pertama di Kota Pare-pare. Namun sebagian besar referensi cenderung menyebutkan bahwa pelabuhan pertama di Parepare adalah Pelabuhan Soreang yang diperkirakan berdiri pada abad ke 16. Terlepas dari pada itu pelabuhan Nusantara yang dikenal saat ini telah ada saat pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Ini dibuktikan dengan wilayah Parepare sendiri menjadi wilayah afdeling karena letaknya yang strategis sebagai pusat perdagangan, khususnya pelabuhan sebagai pusat ekspor hasil bumi dari pedalaman Sulawesi Selatan ke berbagai daerah bahkan hingga ke pasar Internasional.
Parepare pada awal abad ke 20 telah menjadi bagian dari pemerintahan Hindia Belanda. Kedudukan Parepare pada masa itu adalah afdeling. Afdeling adalah wilayah administratif setingkat kabupaten. Struktur pemerintahan Parepare pada saat itu membawahi 5 wilayah yang disebut onderafdeling atau subwilayah. Pemerintahan terdiri dari satu kontrolir (wakil pemerintahan Hindia Belanda) dan dibantu oleh aparat pemerintahan raja-raja Bugis, yaitu Arung Barru di Barru, Addatuang Sidenreng di Sidenreng Rappang, Arung enrekang di Enrekang, Addatuang sawitto di Pinrang serta Arung Mallusettasi yang berkedudukan di Parepare.
Berdasarkan kedudukan ini Parepare juga dikenal sebagai kota damai atau kota bebas. Menurut Ilham Mustamin, Budayawan Kota Parepare, “bahwa terdapat sebuah perjanjian antara raja-raja Bugis tentang larangan berperang di wilayah Parepare. Hal ini untuk menunjang stabilitas ekonomi sehingga pertumbuhan ekonomi di Parepare maupun wilayah lainnya tidak terganggu”. Pernyataan ini menunjukkan peran sentral keberadaan pelabuhan dalam perkembangan sosial masyarakat, bukan hanya dari segi ekonomi melainkan pembentukan karakter Kota Parepare itu sendiri.
Masa setelah kemerdekaan Indonesia pun, keberadaan pelabuhan Kota Parepare juga memberikan dampak signifikan terhadap perubahan sosial masyarakat. Antara tahun 1953-1965, terjadi konflik bersenjata antara pihak DI/TII dan TNI. Pelabuhan Kota Parepare pada saat itu menjadi pelabuhan tersibuk kedua setelah pelabuhan Makassar di Sulawesi. Akibatnya pelabuhan Kota Parepare tidak luput menjadi sasaran pendudukan kedua belah pihak. Dampak konflik tersebut menimbulkan kemerosotan pesat pada aktivitas ekonomi pelabuhan. Hal ini dikarenakan para petani memilih menjual hasil taninya pada pihak DI/TII sehingga pedagang pemerintah tidak mendapatkan pasokan hasil bumi, utamanya beras dan kopra.
Konflik ini pada akhirnya menimbulkan beberapa dampak sosial yaitu migrasi dan hubungan gelap DI/TII dan TNI. Masyarakat yang merasakan kesengsaraan akibat konflik tersebut memilih bermigrasi ke Kota Parepare. Di antara masyarakat tersebut berasal dari Enrekang dan Mandar. Mereka migrasi ke Kota Parepare untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan. Migrasi ini mendorong peningkatan kepadatan dan pluralitas penduduk.
Dampak yang kedua adalah hubungan gelap DI/TII dan TNI. Hubungan gelap tersebut terjadi karena upaya TNI dalam pemenuhan kebutuhan logistik dan kebutuhan DI/TII dalam persenjataan mendorong hubungan gelap barter senjata antara kedua belah pihak. Aktivitas barter ini terjadi di sepanjang pantai Sulawesi Selatan dan Mandar. Pelabuhan Parepare termasuk tempat keluar masuknya barang barter tersebut. Hubungan gelap ini juga yang menjadi salah satu faktor pendukung resistensi DI/TII di kawasan Sulawesi Selatan dan Mandar. Resistensi tersebut yang secara paralel menimbulkan isu ketertiban dan keselamatan.
Peristiwa di atas sekali lagi menunjukkan peran sentral keberadaan pelabuhan dalam perkembangan sosial Kota Parepare. Maka sejatinya tidak berlebihan jika menyebutkan bahwa pelabuhan adalah identitas Kota Parepare. Pelabuhan bukan hanya sebuah tempat pertukaran barang dan jasa, bukan hanya tempat berlabuhnya kapal. Lebih dari itu merupakan tempat pertemuan budaya, tempat berlabuhnya ide dan pendorong perubahan.
Penulis: Ilham Alfais
Editor: Muhammad Fauzy
SUMBER :
Ali, Maisyah st. Dinamika Kota Pelabuhan Parepare 1953-1965, Jawi VOLUME 06 No. 1. 2023
Muhajir & Nur, Muhammad. Tata Kota Parepare Periode Kolonial Belanda. Jurnal Walennae Vol. 17, No. 1. 2019.
Pendataan dan Updating di Kota Parepare. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan. 2018.
Kila, Syahrir. Pelabuhan Parepare di Bawah Kuasa Gowa dan Bone. Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan. Makassar. 2017.