Parepare, – Maupa.id – Dari jalan poros Tuppu, Utara Pinrang di suatu siang yang begitu terik. Rumah Panggung Aju Seppu (kayu ulin) itu dari luar nampak megah dan sedikit mencolok dengan warna hitamnya yang seperti baru saja dilumuri oli. Pekarangannya luas, dikelilingi beragam tanaman hias, baik yang disimpan di pot maupun menggelantung dibeberapa meter tembok belakang yang berbatasan dengan tepi sungai. Sepasang kekasih bersama anak kecil bernama Langit menyambut kedatangan kami di Bola Macca. Kunjungan yang sebenarnya tidak direncana, sebab kami baru saja selesai mengantar seorang Ilham Mustamin menuju gelanggang pelaminan.
Adalah Sastra Tandi Batara, seorang kawan yang mengelola Bola Macca, sebuah kedai sekaligus perpustakaan yang berada di kolong rumah kayu warisan keluarga yang kini ia tempati bersama keluarga kecilnya. Sebuah impian sederhana bagi banyak orang, punya pekerjaan yang bisa dikerjakan dirumah, bil khusus bersama kekasih. Bola Macca baru saja berdiri sebulan lalu, namun rumah panggung itu telah melewati berbagai musim selama puluhan tahun dengan begitu gagah.
Bola Macca jika diartikan secara harfiah menggunakan bahasa daerah setempat berarti rumah pintar. Tidak salah karena bola macca adalah kafe baca. Di satu ruangan bagian dalam kafe terdapat lemari buku berisi jajaran buku-buku bacaan yang bisa dibaca pengunjung. Kalian bisa menemukan buku filsafat yang tidak lagi dicetak ulang dan beberapa buku sains yang jarang ditemukan di perpustakaan umum.

Namun tidak sesederhana itu mengartikan Bola Macca. Bagi Sastra, Macca diambil dari kata “Acca” yang berarti nenek dalam bahasa Pattinjo. Kata Acca disini merujuk pada orang tua Sastra, yang harapannya anak Sastra dan anak saudaranya akan menyebut bahwa ini adalah rumah “Acca” (rumah nenek) mereka. Dirumpun Bahasa Sulawesi Selatan, kata “nenek” digunakan untuk memanggil Kakek dan Nenek, tidak membedakan sebutan keduanya secara khusus. Rumah Macca menjadi monumen kehidupan keluarga Sastra yang menjadi ruang berkumpul bersama ketujuh saudaranya.
Berada di Bola Macca terasa begitu familiar. Kami yang juga akrab dengan kolong rumah kayu merasa seperti sedang berada di Setangkai Bunga Makka, tapi dengan versi yang lebih luas. Pengunjung kafe bisa memesan beragam menu baik kopi maupun non-kopi. Minuman Kopi terasa begitu spesial, sebab Sastra menggunakan biji kopi asli Lembang yang berasal dari kebun pamannya. Selain itu, pamannya sendiri yang menyangrai dan memasarkan produk kopi robustanya. Biji kopi hasil produksinya dipasarkan di kafe-kafe dan pasar tradisional.

“Bola Macca menjadi ruang untuk semua kalangan/golongan dengan tujuan orang akan datang melakukan kegiatan baik dibidangnya masing-masing, demi kebermanfaatan dan keberlanjutan,” tegas Sastra.
Saya justru tertarik dengan kebun bunga yang dipelihara dengan sangat baik. Sastra nampaknya punya perhatian pada tanaman, terbukti dengan banyaknya monstera dan anturium yang tumbuh besar dan beranak pinak, tanaman yang jarang ditemukan di teras rumah. Selain itu, juga beberapa bonsai yang meliuk-liuk dan berbunga mekar. Saya juga membawa pulang beberapa potek tangkai daun sirih yang berakar yang tumbuh subur menjuntai di tembok putih belakang rumah.

Saya membayangkan betapa menyenangkannya bila di setiap desa/kelurahan terdapat rumah baca yang terbuka umum untuk masyarakat. Tidak banyak perpustakaan yang dapat diakses masyarakat desa, terlebih perpustakaan daerah biasanya hanya ada di ibukota kabupaten, maka masyarakat desa yang jauh dari kota kabupaten seperti Tuppu tentu berfikir beberapa kali untuk kesana. Perpustakaan umum daerah mesti menaruh perhatian pada upaya komunitas membangun semangat membaca di daerah.
Penulis: Azwar Radhif
Editor: Muhammad Fauzy Ramadhan