Menjawab Disparitas Hunian Layak di NTT: Ketika Rumah jadi Penentu Kesejahteraan

Maupa.id – Hingar bingar mengenai narasi pemerataan Pembangunan Nasional kini menjadi angin sejuk, disaat kenyataan yang ditemui bahwa pemetaan berdasarkan indikator hunian layak berdasarkan data oleh BPS 2024 menyebutkan bahwa daerah pada beberapa wilayah di Indonesia bagian timur memiliki proporsi rumah layak huni berada dibawah 50%.

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) juga masih berjuang menghadapi ironi pembangunan yang tak kunjung tuntas mengenai ketimpangan akses terhadap hunian layak. laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dan investigasi jurnalistik Kompas (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 340.000 rumah di NTT masih tergolong tidak layak huni

Ketimpangan ini bukan sekadar soal fisik rumah. Ia menjelma menjadi akar dari kerentanan sosial yang lebih luas berupa tingginya risiko penyakit infeksi, rendahnya konsentrasi belajar anak, hingga meningkatnya kerentanan terhadap bencana. Maka tak heran, pembangunan hunian layak tak bisa lagi dianggap sebagai proyek infrastruktur semata, melainkan sebagai strategi peningkatan kualitas hidup.

Ketika Data Bersuara: Akses Hunian & Kesejahteraan

Dalam studi yang dilakukan oleh salah satu tim Data Analytic Class Prodi MAP UGM, kami menganalisis tren, ketimpangan wilayah, dan relasi antara akses rumah layak dengan indikator kesejahteraan masyarakat. Hasilnya mengejutkan dan sekaligus memperkuat urgensi kebijakan berbasis data.

Dari hasil regresi yang kami lakukan:

  • Setiap peningkatan 1% rumah layak huni di suatu daerah meningkatkan angka harapan hidup (AHH) sebesar 0,29 tahun.

Garis regresi pada grafik menunjukkan arah positif, yang berarti semakin tinggi persentase hunian layak di suatu wilayah, maka semakin tinggi pula angka harapan hidup (AHH) masyarakatnya. Misalnya, Kota Kupang berada di ujung kanan atas grafik, dengan persentase hunian layak sekitar 79% dan AHH tertinggi, yaitu sekitar 72 tahun. Sebaliknya, Sabu Raijua dan Alor memiliki persentase hunian layak dan AHH yang paling rendah, mencerminkan hubungan negatif antara kualitas tempat tinggal dan umur panjang.

Sebagian besar kabupaten lainnya berkumpul di rentang 60–67% hunian layak dengan AHH sekitar 66–69 tahun. Temuan ini menunjukkan bahwa akses terhadap hunian layak merupakan faktor penting yang memengaruhi kualitas hidup dan kesehatan masyarakat, dan harus menjadi fokus dalam kebijakan pembangunan berbasis keadilan spasial dan kesehatan publik.

  • Lebih signifikan lagi, kenaikan 1% rumah layak berkorelasi dengan peningkatan IPM hampir 1 poin penuh (R² = 0,994; p < 0,001).

Gambar ini menunjukkan hubungan positif yang kuat antara persentase hunian layak dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur. Garis regresi yang naik menunjukkan bahwa semakin tinggi akses terhadap hunian layak, maka semakin tinggi pula skor IPM suatu wilayah. Kota Kupang memiliki nilai hunian layak dan IPM tertinggi, sementara Sabu Raijua berada pada posisi paling rendah.

Lihat Juga:  Pj. Bupati Kab.Luwu: Investasi Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat dan PAD

Mayoritas wilayah terkonsentrasi pada kisaran hunian layak 60–67% dan IPM 60–66. Hal ini mengindikasikan bahwa perumahan yang layak bukan hanya berdampak pada kesehatan dan kenyamanan, tetapi juga berkontribusi langsung pada peningkatan kualitas hidup manusia secara keseluruhan, termasuk pendidikan dan ekonomi, sehingga sangat penting untuk diperhatikan dalam perencanaan pembangunan daerah. Ini membuktikan bahwa rumah bukan sekadar tempat tinggal melainkan titik mula pembangunan manusia.

Mengurai Ketimpangan Lewat Peta dan Angka

Visualisasi melalui Tabel dan perhitungan koefisien variasi menggunakan Stata menunjukkan bahwa ketimpangan paling tinggi terjadi di wilayah perbatasan dan kepulauan. Kabupaten-kabupaten seperti Timor Tengah Selatan, Alor, dan Belu menunjukkan angka yang sangat tertinggal dibanding kota-kota besar seperti Kupang.

Proyek ini juga membandingkan data time series (2019–2024) dan menemukan bahwa meski ada peningkatan akses hunian secara rata-rata, ketimpangan antar wilayah justru semakin lebar. Artinya, kebijakan yang berjalan selama ini belum menyentuh wilayah-wilayah yang paling membutuhkan secara optimal.

Grafik ini menunjukkan tren kenaikan persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap hunian layak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) selama periode 2019–2024. Terlihat peningkatan konsisten dari 32,08% pada tahun 2019 menjadi 46,88% pada tahun 2024. Peningkatan tertinggi terjadi antara 2023 dan 2024, dengan lonjakan hampir 4 poin persentase.

Meskipun tren ini menunjukkan kemajuan yang positif, angka 46,88% masih menunjukkan bahwa lebih dari separuh rumah tangga di NTT belum memiliki akses ke hunian yang layak. Artinya, diperlukan percepatan intervensi kebijakan dan alokasi anggaran yang lebih adil agar pencapaian hunian layak dapat merata dan berkelanjutan, terutama di wilayah-wilayah tertinggal.

Menelisik Langkah dan Strategi atas Ketimpangan Rumah Layak Huni

Secara spasial, daerah-daerah yang paling tertinggal seperti Sabu Raijua, Alor, dan TTS berada pada posisi terbawah dalam akses hunian dan kesejahteraan. Sementara itu, wilayah seperti Kota Kupang mencerminkan posisi sebaliknya, dengan angka hunian layak dan indikator sosial-ekonomi yang lebih tinggi.

Ini menunjukkan bahwa ketimpangan spasial dalam pembangunan perumahan sangat nyata dan semakin membesar dalam periode 2019–2024, meskipun secara agregat terdapat peningkatan dari 32,08% menjadi 46,88% rumah tangga dengan akses hunian layak. Dengan demikian, kebijakan yang selama ini diterapkan cenderung belum menyentuh secara optimal wilayah-wilayah yang paling membutuhkan, terutama di daerah perbatasan dan kepulauan yang geografisnya menantang.

Lihat Juga:  Pelaku UMKM Bajo Merasakan Manfaat Bantuan MDA

Interpretasi dari temuan ini menegaskan bahwa rumah layak harus diredefinisi sebagai pilar pembangunan manusia, bukan sekadar tempat tinggal fisik. Untuk menjawab tantangan disparitas hunian layak di NTT secara lebih substansial, rekomendasi kebijakan yang diberikan tidak cukup hanya bersifat normatif (seperti imbauan pemerataan atau perbaikan infrastruktur), melainkan harus diterjemahkan ke dalam langkah-langkah konkret, terukur, dan sensitif terhadap konteks geografis serta sosial-ekonomi daerah. Berikut elaborasi mendalam atas rekomendasi kebijakan berbasis data

  1. Redistribusi Anggaran Perumahan Berbasis Ketimpangan Spasial

Pemerintah perlu merancang skema alokasi anggaran perumahan yang tidak bersifat rata, melainkan berdasarkan tingkat ketertinggalan akses hunian yang terukur melalui data spasial. Kabupaten seperti Alor, Sabu Raijua, dan TTS menunjukkan indeks hunian layak yang sangat rendah serta korelasi kuat terhadap rendahnya AHH dan IPM. Oleh karena itu, wilayah-wilayah ini seharusnya menerima porsi anggaran pembangunan perumahan yang lebih besar.

Redistribusi ini dapat direalisasikan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Tematik Hunian Layak dan Dana Insentif Daerah (DID) berbasis performa, yang diberikan kepada pemerintah daerah dengan kinerja penurunan backlog rumah tidak layak terbaik. Langkah teknis untuk mewujudkan redistribusi ini ialah pembangunan dashboard pemantauan spasial hunian berbasis Geographic Information System (GIS).

Dashboard ini dapat digunakan oleh pemerintah pusat maupun provinsi untuk memantau capaian setiap kabupaten secara real-time dan berbasis bukti. Melalui pendekatan ini, daerah tidak hanya diberi dana, tetapi juga didorong untuk berinovasi dalam mengelola program perumahan sesuai konteks lokalnya. Skema ini akan mempercepat penurunan disparitas antarwilayah dan sekaligus mendorong tata kelola pembangunan perumahan yang lebih akuntabel.

  1. Model Intervensi Hunian Komprehensif dan Terintegrasi

Ketimpangan hunian di NTT tidak bisa ditangani secara parsial. Intervensi yang paling efektif adalah dengan membangun Model Intervensi Hunian Komprehensif (MIHK) yang mencakup tidak hanya pembangunan fisik rumah, tetapi juga penyediaan infrastruktur dasar secara terintegrasi. Artinya, setiap program perumahan harus dirancang bersamaan dengan pembangunan akses air bersih, fasilitas sanitasi, konektivitas jalan, layanan pendidikan dasar, dan pusat layanan kesehatan. Hal ini karena hunian hanya akan layak jika memenuhi dimensi kualitas hidup secara menyeluruh, sebagaimana terbukti dalam relasi kuat antara hunian dengan AHH dan IPM.

Lihat Juga:  Kapus Latimojong: PT. Masmindo Dwi Area Terbukti Bantu Layanan Kesehatan Masyarakat

Realisasi model ini memerlukan pendekatan modular terintegrasi, yaitu rumah dibangun dengan skema bertahap yang sesuai dengan kemampuan fiskal dan kebutuhan lokal. Misalnya, pembangunan awal difokuskan pada pondasi dan struktur tahan gempa, diikuti oleh sambungan air bersih dan sanitasi komunitas.

Pemerintah dapat menggandeng pihak swasta atau BUMN melalui skema Public-Private Partnership (PPP) dengan insentif fiskal, seperti keringanan pajak atau kemudahan perizinan, untuk mempercepat realisasi pembangunan ini. Kunci keberhasilannya adalah sinkronisasi lintas sektor: antara Dinas Perumahan, PU, Pendidikan, Kesehatan, dan Sosial dalam satu rencana pembangunan wilayah terpadu.

  1. Subsidi Bahan Bangunan Lokal dan Skema Padat Karya

Alih-alih membangun rumah jadi yang seragam dan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, pemerintah dapat menerapkan subsidi bahan bangunan lokal berbasis e-voucher. Mekanisme ini memberikan fleksibilitas kepada masyarakat untuk membangun rumah sendiri dengan desain yang sesuai budaya dan kebutuhan lokal, sambil tetap menjamin kualitas bahan. E-voucher dapat ditukarkan di pasar lokal yang telah bekerja sama dengan pemerintah, yang sekaligus akan menggerakkan ekonomi lokal. Pendekatan ini lebih berkelanjutan karena memberdayakan masyarakat sebagai aktor utama dalam pembangunan.

Untuk memperkuat dampaknya, subsidi bahan bangunan ini harus dibarengi dengan program padat karya tunai, di mana tenaga kerja lokal dilibatkan dalam pembangunan rumah dan infrastruktur pendukung. Strategi ini memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat miskin, membangun keterampilan lokal dalam konstruksi, serta menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap hasil pembangunan.

Kegiatan ini bisa difasilitasi oleh desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), sehingga tercipta ekosistem perumahan berbasis komunitas yang mandiri dan adaptif terhadap kondisi setempat.

Tantangan dan Peluang

Beberapa kendala yang dihadapi dalam studi ini mencakup keterbatasan akses data mikro wilayah, minimnya publikasi kabupaten/kota secara lengkap, serta adanya inkonsistensi pendataan antar tahun. Namun, semua ini justru menjadi panggilan untuk memperkuat infrastruktur data di daerah.Dengan dorongan politik anggaran yang berpihak dan ekosistem data yang solid, disparitas hunian di NTT bisa diurai dan rumah tak lagi jadi kemewahan bagi sebagian warga.

Penulis: Nur Fauzi Zaahirah, Narsisius Alsidus Soo, Fachira Said dan Frederikus A. Kefi
Editor: Muhammad Fauzy Ramadhan

Proyek ini adalah bagian dari pembelajaran berbasis data di Program Studi S2 Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada.

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU

BERITA POPULER