Memaknai Kembali Badik Sebagai Warisan Budaya Intelektual Leluhur

Badik acapkali dianggap membahayakan, terlebih jika penyuka badik membawanya ke tempat-tempat keramaian, biasanya akan terkena razia aparat kepolisian. Ketakutan ini muncul sejak maraknya kasus perkelahian yang menggunakan badik untuk saling tikam. Padahal di masa kini badik telah menjadi karya intelektual leluhur, jejak perkembangan peradaban di Selatan Sulawesi.

Parepare,- Maupa.id – Sulawesi merupakan salah satu daratan dengan sumberdaya besi yang melimpah, menjadikannya sebagai pulau dengan produksi teknologi besi yang cukup besar di Nusantara sejak masa-masa silam. Bahkan diyakini banyak bijih besi hingga persenjataan yang digunakan Majapahit dari hasil olahan panre bessi (pandai besi) dari Tanah Luwu. Salah satu warisan budaya peradaban besi di selatan sulawesi adalah badik. Badik sebagai warisan budaya, di masa-masa kuatnya dominasi kerajaan digunakan sebagai senjata untuk bertarung. Namun, di masa kini apakah badik masih relevan, sejak hukum negara memiliki kekuasaan tertinggi di Indonesia?.

Saya sempat berbincang lama dengan Opu Andi Oddang to Sessungriu, salah seorang Dewan Adat Kedatuan Luwu perihal keberadaan badik di masa kini. Asumsi sederhana saya melihat badik kini lebih dijadikan benda koleksi yang tujuannya untuk diperlihatkan kepada sejawat ataupun dipamerkan di acara kebudayaan. Saya semakin merasa takjub ketika mendengar cerita di Gedung Tomalebbi (tempat berkumpulnya pegiat pusaka) pernah ada yang menukarkan mobilnya dengan sebilah badik. Bagi saya yang sejak kecil tinggal di daerah kota dengan masyarakat yang multikultural, sulit rasanya berterima bila kendaraan seharga ratusan juta ditukar secara percuma dengan sebilah besi badik. Keresahan itu baru saja terjawab setelah perbincangan dengan Opu Oddang malam itu.

Opu Andi Oddang, Budayawan Parepare. Dok: Azwar Radhif
Opu Andi Oddang, Budayawan Parepare. Dok: Azwar Radhif

Opu Oddang menjelaskan terdapat perubahan fungsi dan cara kita melihat badik di masa kini. Badik tidak lagi menjadi senjata untuk melukai, tapi lebih dijadikan benda pusaka untuk dikoleksi sebagai hobi. Badik mempertemukan para empunya dari beragam daerah dan suku, baik Bugis, Makassar dan Mandar. Seperti pada acara Festival Pangadereng kemarin yang di dalamnya ada kegiatan Mattompang atau ritual membersihkan badik yang mempertemukan banyak pegiat badik dari dan luar Parepare. Mattompang juga sebagai bentuk pensakralan badik, penghormatan pada pusaka warisan leluhur.

Lihat Juga:  Terungkap ! Rahasia 9 Gerakan Tarian Jaga Lili Ulu Salu

Ada 3 hal yang membuat badik masih digemari hingga hari ini, yaitu badik sebagai karya intelektual leluhur, sebagai karya seni dan sebagai warisan sejarah. Keberadaan badik menjadi monumen untuk melihat bagaimana kehidupan para pendahulu kita di selatan sulawesi. Badik menggambarkan perkembangan teknologi mengolah logam hasil karya seni para panre besi dengan kemampuan menempa bahkan memijat besi menjadi senjata badik. Nilai seni terlihat dari ukiran dan motif di sarung dan gagangnya. Sedang nilai sejarah suatu badik terwariskan secara turun temurun oleh leluhur mereka yang bisa jadi telah melewati peristiwa sejarah tertentu.

Menurut Opu, sejak awal fungsi badik memang bukan untuk menyerang melainkan untuk menjaga diri dari ancaman musuh. Ini dapat dilihat dari ukuran badik yang rata-rata tidak terlalu besar, menjadikan badik sebagai senjata pertahanan jarak dekat. “Di Bugis lebih banyak yang mengenal badik itu bukan untuk membunuh, melainkan wasilah, sesuatu yang diikhtiarkan semoga ini tidak ketemu musuh. Hanya sebagai alat membela diri, dibuat untuk pertahanan, bukan menyerang. Itu kenapa bentuknya tidak terlalu besar,” tutur Opu.

Badik yang dipamerkan dalam festival Pangadereng di Parepare. Dok: Azwar Radhif
Badik yang dipamerkan dalam festival Pangadereng di Parepare. Dok: Azwar Radhif

Opu juga menyoroti tindakan segelitir orang yang menggunakan badik untuk menikam. Bagi Opu, tindakan itu sudah jauh dari esensi badik, membuat citra badik menjadi buruk di mata masyarakat. Padahal dengan membawa benda pusaka seharusnya membuatnya menjadi hati-hati dan lebih bijaksana. “Sebenarnya yang bawa badik itu tidak masalah, yang masalah itu yang bawa badik niatnya untuk apa. Yang perlu dibentuk itu moralitas, kualitas kemanusiaannya, ketaatannya kepada aturan,” tutup Andi Oddang, Budayawan asal Parepare.

Penulis: Azwar Radhif
Editor: Muhammad Fauzy Ramadhan

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU

BERITA POPULER