Dompet Dhuafa Sulsel Adakan Kelas Budaya Bertutur Lestarikan Tradisi Tutur Di Sulawesi Selatan

Pertemuan pertama Kelas Budaya Bertutur baru saja selesai kemarin sore (10/5). Kegiatan ini berlangsung secara dialogis, peserta dan penutur saling berdiskusi berbagi cerita. Adalah Arif Dg Rate, seorang Passinrilik yang memantik diskusi sekaligus menjelaskan bagaimana perkembangan dan mengapa penting melestarikan budaya tutur.

Parepare, Maupa.id – Tradisi budaya tutur merupakan salah satu budaya tak benda yang masih berlangsung hingga hari ini, khususnya di Sulawesi Selatan. Namun, perkembangan informasi yang pesat nampaknya banyak mempengaruhi kebudayaan. Untuk itu, sebagai upaya melestarikan tradisi tutur, Dompet Dhuafa Sulsel mengadakan Kelas Budaya Bertutur.

Kegiatan ini berlangsung selama beberapa pekan. Pekan pertama sekaligus pembukaan diadakan di Setangkai Bunga Makka, pada 10 mei kemarin di sore hari. Kegiatan ini dipandu oleh Arif Daeng Rate, seorang seniman tutur yang juga seorang Passinrilik (pemain kecapi tradisional khas Makassar).

Arif Daeng Rate membahas bagaimana perkembangan budaya tutur di masyarakat Selatan Sulawesi, khususnya di Bugis-Makassar. Menurutnya sejarah kita sangat dipengaruhi oleh budaya tutur. Tradisi bertutur menjadi metode transformasi nilai dan merawat ingatan sejarah melalui tuturan passinrilik selama pertunjukan.

Arif Daeng Rate, Passinrilik yang mengisi kelas Budaya Bertutur. Dok: Azwar Radhif
Arif Daeng Rate, Passinrilik yang mengisi kelas Budaya Bertutur. Dok: Azwar Radhif

Lebih lanjut Arif menjelaskan syair, dongeng, atau apapun yang termasuk seni bertutur itu digunakan untuk menyampaikan sesuatu pesan, baik berarti nasehat ataupun pamali. Seperti syair yang dimuat passinrilik dalam pertunjukannya, biasanya berkisah tentang cerita sejarah yang memuat perjuangan, kisah cinta, dan pesan religi.

Menurutnya tradisi tutur memiliki peran dalam perkembangan anak. Seni bertutur membuat anak lebih berperasaan, kreatif dan punya daya imajinasi yang kuat. “anak-anak yang tumbuh dengan cerita dan dongeng itu lebih punya empati dan perasaan yang kuat”

Sinrilik, kata Arif pernah dilarang Belanda dimasa kolonial karena dianggap berbahaya, membawa pesan perlawanan melalui lantunan syair yang dilantunkan oleh passinrilik.

Pandu Heru Satrio, Pimpinan Cabang Dompet Dhuafa Sulawesi Selatan menjelaskan pentingnya melestarikan budaya tutur di masyarakat. Kegiatan ini bagi dia menjadi upaya mengingat kembali cerita-cerita terdahulu serta merefleksikan seberapa bermanfaat bagi kehidupan dan masa depan kita.

Lihat Juga:  Festival Pangadereng: Upaya Pemuda Melestarikan Budaya
diskusi berlangsung dialog, peserta bercerita pengalaman masa kecilnya. Dok: Azwar Radhif
diskusi berlangsung dialog, peserta bercerita pengalaman masa kecilnya. Dok: Azwar Radhif

“Kelas bertutur sebenarnya fokus ke tradisi bertutur, adapun sinrilik hanya sebagai perantara. Yang terpenting adalah nilai bertutur dan berceritanya mau digali kembali untuk menemukan intisarinya dan diterapkan di kehidupan kita” ujar Pandu.

Selain pengenalan secara teori, peserta juga diajarkan langsung bermain Sinrilik. Nantinya Dompet Dhuafa berharap bisa menghasilkan karya yang akan diputar di platform musik streaming daring.

Penulis: Azwar Radhif
Editor: Muhammad Fauzy Ramadhan

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU

BERITA POPULER