Parepare, – Maupa.id – Sidang DPR-RI kamis kemarin (20/3) menyepakati revisi UU-TNI yang baru. Seluruh fraksi DPR-RI menyepakati perubahan Undang-Undang tentang Perubahan UU No.34 Tahun 2004. Revisi ini dianggap perlu untuk memberi ruang kepada TNI aktif untuk membantu kerja-kerja struktural di 14 bidang yang dulunya diisi jabatan sipil.
Gelombang perlawanan meletus di banyak daerah, masyarakat menganggap hal ini sebagai upaya untuk menguatkan peran militer di ranah publik, sehingga mengancam supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak reformasi. Ini membawa kembali ingatan kelam di masa-masa rezim orde baru berkuasa dengan militer sebagai alat kekuasannya. Dengan duduknya militer di jabatan sipil membuat demokrasi berada di titik terendah.
Penetapan UU ini menuai perhatian dari publik, lantaran sejak awal penyusunan RUU-nya dilaksanakan secara privat di hotel tanpa melibatkan masyarakat sipil. Selain itu, melihat latarbelakang dari Presiden terpilih Prabowo Subianto yang notabenenya pernah mengabdi di militer, dan melihat banyaknya perwira tinggi dan Purnawirawan yang diberi posisi tinggi di pemerintahan pusat. RUU ini juga terhitung cepat disahkan, dari masuknya di prolegnas pada 2024 kemarin.
Tim reporter Maupa berkesempatan mewawancarai Rusdianto Sudirman, salah seorang dosen Hukum Tata Negara (HTN) di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare. Beliau menyebut UU-TNI ini berpotensi mengembalikan kekuasaan militer di ranah publik sehingga mengancam demokrasi di Indonesia. UU-TNI menjadi legitimasi dwifungsi TNI serupa yang pernah terjadi di masa orde baru silam.
“Sebelum direvisi kemarin, pelibatan TNI diberbagai jabatan sipil sudah menjadi ancaman akan bangkitnya kembali Dwi Fungsi ABRI. Puncaknya setelah disahkan kemarin, beberapa pasal sebenarnya telah memberikan penegasan bahwa TNI dapat menjabat di pemerintahan dengan prinsip tugas pembantuan. Meskipun tidak ada satu kalimatpun yang menyebutkan secara eksplisit Dwi Fungsi ABRI akan tetapi pengaturannya melalui kata-kata bersayap dalam UU, lewat pasal-pasal yang beranak pinak seperti “diatur lebih lanjut dalam PP ataupun Perpres,” tegasnya.

Menurutnya dalam kacamata hukum tatanegara, pemberian ruang bagi anggota TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil akan membuat kegaduhan hukum utamanya hukum tata negara Indonesia.
“Pada satu sisi, hal ini bisa dipandang sebagai upaya untuk memastikan keterlibatan TNI dalam pembangunan dan administrasi negara. Namun, di sisi lain, praktik tersebut berpotensi mengurangi efektivitas sistem pemerintahan yang berbasis pada prinsip demokrasi dan pemisahan kekuasaan yang jelas. Jika dibeberapa sektor jabatan pemerintahan mayoritas di isi oleh TNI aktif maka sebaiknya IPDN dan sekolah tinggi ilmu pemerintahan dibubarkan saja,” Lanjut Rusdianto.
Untuk itu, menurutnya UU ini perlu dievaluasi kembali untuk memastikan tidak adanya potensi mengembalikan memori kelam kita pada kuatnya peran militer di ranah sipil. “Karena dengan latarbelakang sejarah Indonesia yang penuh dengan pengalaman intervensi militer dalam politik dan pemerintahan, pengaturan semacam ini perlu dievaluasi dengan cermat agar tidak merusak prinsip-prinsip demokrasi yang dijamin oleh UUD 1945,” tutup dosen IAIN Parepare ini.
Penulis: Azwar Radhif
Editor: Muhammad Fauzy Ramadhan