Saat ini ada sebuah euphoria yang terjadi tentang para orang tua berbondong mendaftarkan anaknya ke sekolah. Ini memang musim pendaftaran sekolah, tapi sesuai dengan idiom dunia jurnalisme bahwa bad news is a good news, maka dalam euphoria itu juga, aku menonton sebuah berita tentang berbagai macam usaha kecurangan yang ditemukan dalam prosesnya. Kebijakan Kemendikbud tentang sistem zonasi telah melahirkan berbagai praktik kecurangan, misalnya membuat KK palsu, KKN, manipulasi nilai, dsb.
Tulisan ini tidak ingin membahas tentang kecurangannya, namun ada satu komentar menggelitik yang sulit saya abaikan. Orang yang berkomentar itu saya tidak tahu benar sebagai apa ia berbicara tapi mari kita anggap sebagai pengamat pendidikan. Menurutnya “proses pendaftaran calon peserta didik baru harus melibatkan seluruh stakeholder” katanya, lalu ia kemudian memberikan contoh stakeholder yang dimaksud “misalnya, dinas pendidikan, pemerintah daerah, Kemensos atau dinsos”. Tidakkah menurutmu ini sedikit lucu?. Bagaimana mungkin birokrasi dapat menyelesaikan persoalan tersebut?, daripada menyebutnya sebagai solusi penyelesaian masalah lebih tepat menyebutnya “menambal” masalah. Pencegahan mungkin dapat dilakukan tapi itu sama sekali tidak menyentuh masalah, serta dapat dinilai bahwa birokrasi datang sebagai suatu kekuatan yang memaksa (baik secara halus maupun kasar) untuk kita tunduk pada regulasi.
Perilaku curang masyarakat bukanlah masalahnya, tapi angan-angan masyarakat tentang pendidikan, sistem pendidikan, dan lebih luas lagi sistem sosial. Pendidikan selalu dilihat sebagai determinan utama kesuksesan, sehingga orang tua akan melakukan berbagai upaya demi kesuksesan sang anak. Aku tidak ingin membahas konstruksi kesuksesan disini, hanya saja perlu semacam statement bahwa kesuksesan adalah produk sosial-budaya. Untuk mengejar angan-angan tentang kesuksesan dan juga khayalan tentang hirarki status sosial “bahwa anak saya atau saya sekolah disini”, ditempuh melalui berbagai cara walaupun curang. Tidakkah kamu melihat sebuah kontradiksi, “bahwa agar supaya anak saya dapat dididik di sini, saya melakukan cara yang tidak mendidik”.
Kecenderungan masyarakat kontemporer adalah pelimpahan hampir seluruh urusan pada birokrasi, termasuk pendidikan. Keluarga pertama-tama memiliki berbagai fungsi, termasuk fungsi pendidikan di dalamnya. Bahwa tugas menjadi orang tua tidak hanya memberi uang saku, tapi juga memberikan perlindungan, memberikan rasa aman dan nyaman, memberikan kasih sayang, mendidik dan mempraktekkan etika. Kecenderungan pelimpahan pendidikan dari keluarga pada birokrasi tentu saja memberikan implikasi yang buruk, terutama soal orang tua yang lupa bahwa tindakan yang ia lakukan adalah salah dan tidak mendidik sang anak yang pada akhirnya mungkin akan di contoh oleh sang anak. Selain itu legitimasi orang tua dan lingkungan menjadi kontrol sosial akan melemah atau mungkin itu yang diharapkan, tidak memiliki tanggung jawab moral pada anak sendiri maupun anak tetangga.
Apakah institusi pendidikan dapat memikul tanggung jawab tunggal mendidik peserta didik. Jawabanku adalah tidak. Sekolah tidaklah betul-betul mendidik. Aku pernah menulis sebuah tulisan yang berjudul “parade ketidakpercayaan”. Sebuah pengalaman teman tentang ia yang ikut tes CPNS. Katanya bahwa sebelum masuk ruangan tes ia dilucuti dan diperiksa dengan teliti agar tidak curang, bahkan dua batang rokok yang ia sisipkan pada kantong dadanya disita. Aku secara subjektif melihat fenomena itu sebagai rangkaian ketidakpercayaan. Narasinya begini “Negara dalam wujudnya sebagai panitia tes CPNS tidak percaya kepadaku sebagai seorang yang dari SD hingga berkuliah mendapatkan pendidikan di institusi pendidikan negeri.” Tindakan itu tentu saja dapat dinilai sebagai tindakan preventif untuk mencegah kecurangan, tapi tindakan semacam itu tentu saja menampar harga diriku. Apa yang diajarkan di sekolah dan ruang kuliah, jika untuk jujur dalam tes saja kita sebagai terpelajar atau terdidik tidak dipercaya?. Dan pada kenyataannya memang tidak dapat dipercaya karena masih ada yang curang.
Perihal di atas telah aku pikirkan dalam-dalam dan menganggap bahwa sistem pendidikan memang mengajarkan kita untuk berpikir rasional dan kritis (walaupun masih dalam kerangka hegemoni dan kecendrungan praktek mendikte dan menghafal), namun melupakan soal pembentukan karakter. Misalnya tentang karakter kejujuran, mencontek atau curang dalam tes dilahirkan dari ketidakpercayaan diri dan ketakutan tidak lulus. Biasanya kita hanya akan melihat anak-anak yang seperti itu sebagai “bodoh”, “iq rendah”, “pemalas” dan semua konotasi jelek lainnya, bukan sebagai pilihan rasional. Ada pertanyaan “mengapa” yang perlu dibangun, seperti mengapa anak-anak takut tidak lulus dalam sebuah tes atau ujian?. Tentu saja sebagai sosiolog saya akan bilang ada nilai yang berlaku bahwa lulus dalam tes dihargai jauh lebih tinggi dibanding tidak lulus. Kita berorientasi terhadap hasil tanpa ingin tahu prosesnya dan anak-anak cenderung tidak ingin menanggung malu karena tidak lulus. Itu soal yang klasik, hanya saja pendidikan itu seperti sebuah gelas dimana para murid adalah air yang dituangkan ke dalam gelas, karena sifatnya yang cair maka harus mengikuti bentuk dari gelas tersebut.
Dapatkah kamu memahami poinnya, poinnya adalah tuntutan. Yah, dipundak para murid ada beban tuntutan dari sekolah, keluarga dan masyarakat secara umum untuk mampu belajar dengan rajin agar lulus dalam ujian. Ini seperti belajar hanya untuk ujian, seperti mengkhayalkan langit sedang kaki berpijak di tanah. Tuntutan itu telah digariskan dengan matang melalui kurikulum, tapi pada akhirnya gagal memahami anak-anak dan potensi yang dimilikinya. Ketika anak-anak buruk dalam matematika tapi bagus dalam musik misalnya, mereka cenderung tidak diapresiasi karena tidak sesuai dengan tuntutan sekolah. Lalu timbullah pilihan untuk tidak jujur dalam ujian untuk memenuhi tuntutan tersebut. Ini bukan tentang jika kamu bagus dalam musik kamu tidak perlu belajar matematika, hanya saja paradigmanya yang perlu diubah. Menggali potensi dan mengembangkan minat para murid akan meningkatkan kepercayaan dirinya sehingga tidak lulus dalam matematika misalnya tidak membuatnya kecewa, merasa buruk, malu, tak berguna, dsb. Melainkan perasaan bahwa mereka telah berusaha sebaik mungkin atau setidak-tidaknya mereka telah berani untuk jujur dalam ujian. Ada pendekatan lain yang diperlukan dalam pendidikan untuk membuat anak-anak punya karakter dan pribadi yang kuat dan besar.
Begitulah kemudian sekolah telah menjabarkan pendidikan untuk memenuhi tuntutan bukan menggali potensi dan mengembangkan minat. Tidak ada pilihan tidak bersekolah (selama mampu), karena sekolah dianggap sebagai satu-satunya jalan hidup. Tidak ada alternatif lain untuk menjalani masa kanak-kanak hingga remaja dewasa selain bersekolah. Aku tidak bilang jangan bersekolah tapi hanya menyesalkan bahwa, sesuai dengan tuntutan masyarakat atau kerangka kerja sistem sosial, fungsi ekonomi dari sekolah jauh lebih menonjol dari pada fungsi pengajaran dan pendidikannya. Karena pendidikan dinilai sebagai jalan kesuksesan maka para orang tua cenderung melakukan segala hal untuk menempatkan anaknya disekolah yang terbaik. Fokusnya bukan lagi supaya anaknya terdidik, tapi supaya anaknya sukses.
Begitulah angan-angan keluarga dan masyarakat tentang pendidikan sebagai jalan kesuksesan. Pada akhirnya kebanyakan dari kita yang telah mengenyam pendidikan hanya menjalani hidup tanpa benar-benar tahu siapa diri kita dan apa maknanya hidup kita. Hanya menjadi sekrup-sekrup kapitalisme atau menjadi benalu dalam politik dan pemerintahan. Seperti kata Gus Dur sesaat setelah ia dilengserkan dari jabatannya sebagai Presiden, bahwa perjuangannya berhadapan dengan orang-orang yang kelihatannya terpelajar, banyak ilmunya, banyak pengetahuannya, tapi hati nuraninya tidak ada.
Apakah kamu tidak malu jika masuk PNS dengan cara yang curang?, apakah kamu tidak malu jika korupsi meski itu hanya korupsi waktu?, apakah kamu tidak malu menjadi politisi tapi hanya melakukan pembodohan terhadap rakyat?, apakah kamu tidak malu karena telah curang dalam ujian walaupun tidak ketahuan?. Begitulah yang aku pikirkan bahwa pendidikan seharusnya menumbuhkan sayap di punggung kita, melekat dan abadi. Maka yang pertama, perlu untuk mengembalikan fungsi pendidikan pada keluarga, agar seluruh masyarakat terlibat dalam pendidikan bukan hanya institusi pendidikan, kedua adalah perubahan paradigma pendidikan. Ketiga adalah fungsi sosial sekolah, tidak hanya dipandang sebagai fungsi ekonomi tetapi juga fungsi pendidikan dan fungsi budaya. Ke-empat adalah hidup kapitalisme.
Penulis: Ilham Alfais
Editor: Muhammad Fauzy Ramadhan
Ilustrasi: Unsplash.com